Mantra Penyulam Cinta

Senin, 14 November 2022 14:46 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerpen: Mantra Penyulam Cinta

Mantra Penyulam Cinta

Oleh :  Silwati

       Kenapa rasa ini menguasaiku. Menjalar ke seluruh tubuh. Nadi, darah dan tulangku pun ikut merasakan getarnya. Sukmaku bagai mendidih, bergelora dalam degup jantung tak teratur. Kupandangi bulan pucat dibalik awan kelam menggantung. Dada sesak oleh rasa rindu yang menggumpal di dinding kalbu. Kenapa harus jatuh cinta? Kenapa? Apakah tak ada rasa lain yang setara untuk menggantikannya? Kenapa rasanya sakit? Bukankah kata orang jatuh cinta itu rasanya indah?

       Ah...

       Sudah berkali-kali kulabuhkan rasa cinta ini ke laki-laki yang aku kenal. Bahkan aku melabuhkannya pada ayah anak-anakku. Kali ini aku merasakan berbeda. Ya sangat berbeda. Laki-laki yang kusebut Kekasih itu telah memanggil sukmaku untuk merengkuh hatinya yang telah lebih dulu pula ia labuhkan pada istrinya, teman dekatku.

       Apakah rasa ini salah? Atau terlambat datangnya pada orang yang tepat? Aku tak kuat  membendungnya dalam hati. Ia merambah bagai darah mengalir dalam tubuh, menguasai pikiranku hingga tak sedetik pun terlewati tanpa wajah Kekasih. Ia hadir dalam setiap ruangku. Aku bagai dara yang baru mengenal jatuh cinta.

       Pada suatu ketika aku mendatangi seseorang yang konon mampu membuat rasa ini terbalaskan dengan perasaan yang sama. Aku tak peduli apakah itu jalan kegelapan atau tidak. Hanya Kekasih yang aku tahu, yang menggenapi hariku dalam segala ruang.

       Bulan purnama utuh dan bulat. Cahaya emasnya menerpa pucuk-pucuk pohon di sebuah kampung terpencil. Kesunyian memberi ruang bagiku untuk leluasa memikirkan Kekasih, kerinduan menyekat di dadaku.

       Di bawah cahaya bulan indah unggunan api membakar kayu-kayu kering depan sebuah rumah setengah gubuk yang jauh dari rumah penduduk lainnya. Rumah berdinding papan disusun berlapis. Sekeliling tempat itu adalah pohon-pohon rindang dan rumput-rumput rendah. Sehingga tempat itu benar-benar terpencil. Riuh rendah suara angin  meliuk di atas atap gubuk dari anyaman rumput ilalang.

       Di dekat unggunan api sebuah boneka berbentuk orang-orangan sawah diikat pada sebatang kayu.  Aku duduk bersila menghadap unggunan api bersama seorang perempuan tua yang aku panggil Nini.

       Tetes air mengurai dari kedua mataku. Aku rindu, aku luka, aku cinta. Rasa ini membaur jadi satu. Wajah Kekasih membayang dalam api yang menyala.

       “Telah aku bujuk engkau dengan kata-kata. Telah aku rayu engkau dengan lekuk tubuhku. Aku telah menjadi kijang jinak di hadapan singa jantan yang siap menyantap,” lirih kata-kata itu keluar dari mulutku.

       Nini memandangku dengan senyum.

       “Bulan, mari kita mulai!” ujar Nini. “Air matamu akan mengantarkan Kekasih padamu.”

       Nini berdiri, aku pun ikut berdiri. Nini mengelilingi unggunan api. Aku mengikutinya. Mulutnya komat kamit. Setengah berseru dengan nada pelan ya berucap.

       Hai ha haha huh u ha hai hi haahaa ha…

       Hai ha haha huh u ha hai hi haahaa ha…

       Sesekali kami mengibaskan tangan ke arah api. Bila sampai dekat boneka aku mengusapkan kedua tangan ke wajah boneka. Nyala api menghalau kegelapan, tangan-tangan dikepakkan, kaki-kaki ditingkahkan, mantra-mantra dilagukan:

       “Kepada purnama … kepada kesunyian malam … kepada para lelembut … kepada ratu ratu malam …

       Datang …! Datanglah padaku …! Aku anak sikembang bulan memanggil …

       Kepada tujuh penjuru angin … kepada penguasa tujuh hulu sungai … kapada penjaga tujuh lapis gunung …

       Kepada tujuh penuju roh …

       Demi cintaku yang tak terbalas … demi langit dan bumi…

       Demi aku anak sikembang bulan … air mataku … air mata anak sikembang bulan

       Jemputlah! Jemputlah! Jemputlah roh yang bersemayam dalam diri Kekasih!

       Bawa kemari … aku anak sikembang bulan … aku anak sikembang bulan.

       Aku dan Kekasih telah dijodohkan … di dunia gaib.”

       

       Aku meliukkan tubuh, melafalkan mantra-mantra, mempersembahkan sesajian. Lalu mengambil sebilah keris dan mencelupkan ujungnya ke dalam sebuah kendi kecil berisi air  ditaburi bunga-bunga. Keris itu dihadapkan pada langit dan kuangkat seolah menikam bulan  tengah purnama.

       Aku mendekati boneka yang kuumpamakan Kekasih yang telah menolak cintaku dan kuletakkan keris pada dada boneka sambil berkata:

       “Kau sudah melukai hatiku, bertahun aku menahan gairah  demi segumpal daging yang memenuhi celah kakimu. Engkaulah kekasih jiwa!”

       Nyala api, mantra-mantra, sinar rembulan, desau angin, asap kemenyan, sesajian sirih bertemu ruas, belah pinang, segulung gambir, jeruk tujuh rupa, kembang setaman, beras setakar tempurung kelapa, sebutir telur ayam hitam, serangkai melati, benang tiga warna tujuh untai tertata rapi diatas selembar tikar pandan kecil. Aku terus melafalkan mantra, berkonsentrasi. Kemudian keris dalam genggaman kembali aku  celupkan ujungnya ke kendi dan mengambil sebutir telur ayam hitam. Lalu aku pecahkan dan  berkata :

       “Kepada bulan jantung kutikam, jantung jiwaku, hidup dalam darah dagingku. Bersatu dalam darah dagingku/

       Demi penguasa tujuh hulu sungai, tujuh penuju angin. Roh-roh yang tertidur bangkitlah! Si kembang bulan datang

       bersama asap setanggi dan kembang tujuh rupa. Kepada ratu … mohon restu sikembang bulan jantung hati Kekasih

       Ikatkan! Ikatkan ...! Ikatkan dalam satu ikatan rasa!  Puuuuuuuaaaaaahhhh!!! Huuuuuuhhhhhhh …!!!”

 

       Angin bertiup lebih kencang menyapu tubuh boneka, gairah semakin memuncak, lidah api menari-nari. Kupandang mata boneka itu penuh cinta sambil berkata:

       “Kekasih jiwa. Siapa sekarang  yang engkau cinta? Bulan…! Ingat Bulan…! Aku Bulan…!”

       Aku duduk bersimpuh keris kuangkat keatas dan berkata:

       “Demi api dan cinta yang membakar hatiku… kobarannya gairahkan para lelembut ,jantung Kekasih adalah jantungku,

       hati Kekasih adalah hatiku, detak nadinya adalah detak waktuku, airnataku pembasuh lukanya.”

       

       Kemudian aku tengadah pada bulan dan berkata:

       “Demi bulan dan cahayanya … Aku Bulan dalam derita, penderitaanku adalah cinta kegelisahanku adalah Kekasih.”

 

       Lalu aku berkata pada nyala api:

       “Api yang menyala …kobarmu menjilati gelap. Beri panasmu pada jantung Kekasih!”

 

       Kuambil pinang yang sudah dibelah, kugenggam dan Kudekatkan pada asap kemenyan lalu berkata :

       “Pinang kubelah, kubelah pinang. Bukan pinang yang kubelah. Hati jantung otak Kekasih  yang kubelah.”

 

       Aku merentang tangan ke atas,  asap setanggi berhamburan ke setiap penjuru seakan membangunkan roh-roh yang tertidur. Pada unggunan api aku berkata:

       “Jadikan Kekasih dalam genggamku! Cinta Bulan yang luput dari hatinya.”

 

       Aku terus melafalkan mantra hingga unggunan api mengecil. Lalu habis menjadi abu tanpa sisa. Rembulan mulai turun, aku tatap boneka itu dalam sunyi, airmataku jatuh pada dada boneka dan berkata:

“Lihat Kekasih! Hatiku yang kau bakar dengan sinar matamu hingga mendidih dan uapnya mengalir lewat mataku,membasahi dadamu.”

      “Lupakan yang lain, Kekasih! Lihat aku. Kekasih! Lihat, cintaku seperti bunga matahari. Engkau matahari dan aku tengadah padamu, pada cahaya hatimu!”

       Sunyi melahap gelap hanya Aku yang tinggal bersama sunyi dan abu yang tersisa. Dingin mengusap kulit, membalut hati yang resah. Ritual telah usai, asap kemenyan lenyap dibawa angin, kegelapan malam hilang dalam purnama. Hanya sunyi yang mengiringi air mataku. Bulan yang sunyi dari cinta.

                                                                                          *

       Tujuh pagi berlalu sudah sejak aku pulang dari  tempat Nini.  Pada pagi ke delapan, Tak sedikit pun aku dapat kabar tentang Kekasih. Kerinduanku makin menekan, hampir setiap tempat adalah wajahnya, senyumnya yang merekah, langkahnya yang tegap dan penuh wibawa. Kemana pun pergi ia kubawa dalam pikiranku. Duhhh!!!!! Keluhku. Mungkin aku kurang khusuk dengan mantraku.

        Pada sore harinya aku bertemu dengan Kekasih di sebuah acara launching buku. Kami  saling pandang. Matanya yang tajam bagai mata pedang membelah dadaku. Ia tersenyum hangat dengan sapaan seorang laki-laki kepada perempuan yang dicintainya. Sesaat dadaku berdegup kencang. Ada bahasa tersembunyi. Ada hasrat yang tersimpan. Ada kata yang hendak terungkap. Kami pun duduk saling berdampingan hingga acara selesai.

       Sejak itu ia mengisi lembaran hariku dengan indah. Mendatangiku tanpa aku minta. Dia selalu ada di sampingku kapan pun dan dimana pun aku butuh. Kekasih menjadi budak tanpa aku sadari.

       Dia adalah budak cinta yang aku taklukkan dengan upaya yang tidak mudah. Ia bagai bangkai hidup yang tak punya nyali apapun. Dia tidak lagi seperi sebelumnya yang aku kenal. Bagai kuda dikendalikan tali kekang dan akulah penarik talinya.

       Aku tak pernah pedulikan perasaan yang lain. Bagiku dia adalah cinta sejatiku di dunia. Pernah aku melihat Kekasih dengan yang lain. Spontan cemburuku terbakar. Aku memarahi Kekasih dan dia pun memihak kepadaku. Ingin aku nyatakan pada dunia kami adalah pasangan terbaik.

       Sepuluh purnama berlalu hubungan tanpa status ini berjalan seperti normal, tetapi sesungguhnya tidak.  Sang budak dibawah pengaruh sang majikan. Ooo cinta apa sebenarnya ini. Begitu membosankan dan tak bertanggung jawab. Begitu melelahkan cinta yang tak disulam dengan ketulusan. Cinta karena mantra lebih perih dari pada sakitnya dikhianati.  

       Aku telah menikam diriku sendiri. Aku telah meneluh diriku sendiri. Semua yang bukan milikku tak pernah menjadi milikku seutuhnya. Aku hanya bayang yang hidup dalam dirinya, Tetapi sesungguhnya aku tak pernah ada dalam pikirannya. Akulah sesungguhnya bangkai itu. Aku telah menelan api yang kunyalakan. Aku hanya meratapi sesal yang sia-sia. ***        

 

@Sil. 2022

Bagikan Artikel Ini
img-content
Harna Silwati

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Petualangan di Negeri Sihir (Bagian 9)

Rabu, 17 Januari 2024 07:45 WIB
img-content

Petualangan di Negeri Sihir (Bagian 8)

Senin, 8 Januari 2024 16:26 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua